Minggu, 27 April 2014

Tawuran Pelajar

Aksi tawuran pada 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2012. Sistem pendidikan yang belum optimal memberikan ruang ekspresi maupun kreativitas bagi anak dianggap sebagai penyebab terus meningkatnya aksi tawuran pelajar.

Berdasarkan data yang didapat SH dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang 2013 terjadi sebanyak 255 kasus tawuran.
 
Jumlah tersebut jauh lebih tinggi ketimbang kasus tawuran pelajar pada 2012, yakni 147 kasus. "Kasus tawuran tersebut dilakukan siswa, baik di tingkat SMP dan SMA," ujar Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait saat menggelar konferensi pers di kantor Komnas PA, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jumat (20/12).

Ia menjelaskan, dari seluruh kasus tawuran yang terjadi pada 2013 tercatat 20 anak meninggal dunia, sedangkan ratusan lainnya mengalami luka berat dan luka ringan.
 
Menurut Arist, aksi tawuran pelajar yang dapat menghilangkan nyawa seseorang kini dianggap sebagian kalangan sebagai tindakan kriminal. Padahal, dia melanjutkan, apa yang dilakukan para pelajar tersebut merupakan cerminan atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

"Mereka (anak) yang terlibat tawuran sering dianggap pelaku kriminal. Padahal, jelas apa yang mereka lakukan itu tidak terjadi begitu saja. Bagaimana pendidikan di lingkungan keluarga memiliki peran penting, mengingat pembentukan karakter itu berasal dari rumah," Arist memaparkan. Oleh karena itu, ia melanjutkan, pendidikan yang benar, penanaman nilai ataupun norma harus benar-benar dilakukan sejak di rumah.

Arist juga mengatakan, hal lain yang tidak boleh dikesampingkan adalah lingkungan sosial. Menurutnya, lingkungan yang positif akan membantu anak menemukan panutan yang positif saat anak keluar dari lingkungan tersebut.
 
"Nah selanjutnya, pemerintah memiliki peranan ppenting. Pemerintah harus segera mengevaluasi sistem pendidikan. Selain itu, ruang kreativitas untuk anak-anak harus disediakan agar energi yang mereka miliki bisa tersalurkan dengan hal-hal positif," tuturnya.

Sebagai catatan, kasus tawuran pada 2013 ini ditandai  seorang pelajar yang menyerang penumpang bus PPD 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol dengan menyiramkan cairan soda api. Pelajar bernama Ridwan Nur alias Tompel itu melakukan tindakan tersebut dengan tujuan menyerang pelajar yang ada di dalam bus.

Cairan tersebut menyebabkan belasan orang mengalami luka bakar. Beberapa orang yang terkena cairan kimia itu bahkan harus mendapat perawatan serius di rumah sakit. Pelajar yang tinggal di wilayah Cakung ini berhasil ditangkap pada Minggu pagi, tanggal 7 Oktober, saat sedang berkumpul bersama beberapa rekannya di kawasan Bekasi, Jawa Barat.

Pengguna Narkoba di Kalangan Remaja

Jumlah pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif di kalangan remaja cenderung meningkat. Bahaya kehilangan generasi produktif terbayang di depan mata.
Pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) diperkirakan sekitar 5 juta orang atau 2,8 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini lebih tinggi daripada jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur yang mencapai 4,6 juta jiwa. Pengguna remaja yang berusia 12-21 tahun ditaksir sekitar 14.000 orang dari jumlah remaja di Indonesia sekitar 70 juta orang.
Di DKI Jakarta, berdasarkan catatan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, jumlah pengguna napza di kalangan remaja dalam tiga tahun terakhir terus naik.
Pada tahun 2011, siswa SMP pengguna napza berjumlah 1.345 orang. Tahun 2012 naik menjadi 1.424 orang, sedangkan pengguna baru pada Januari-Februari 2013 tercatat 262 orang. Di kalangan SMA, pada 2011 tercatat 3.187 orang, tahun berikutnya menjadi 3.410 orang. Adapun kasus baru tahun 2013 tercatat 519 orang.

Pergaulan Bebas

Akhir-akhir ini, fakta pergaulan bebas menjadi trending topic dalam beberapa media. Pelakunya beragam dan mayoritas adalah para remaja. Kasus terakhir yang marak dibicarakan yakni mengenai terungkapnya kasus video porno yang dilakukan oleh siswa SMP Negeri di Jakarta. Dan mirisnya adegan tersebut terjadi di lingkungan sekolah dan kini sudah beredar luas di masyarakat. Selain itu, pada pertengahan tahun ini, diberitakan bahwa ada siswi SMP di Surabaya yang menjadi mucikari kawan-kawannya di sekolah. Siswi tersebut menawarkan teman-temannya kepada para hidung belang. Mereka rela melakukan perbuatan nista tersebut karena dipicu oleh gaya hidup materialistis dan hedonis. Bukan semata karena himpitan ekonomi.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat mendapatkan temuan, 28 persen pekerja seks anak/ remaja di Bandung Raya adalah pelajar aktif atau masih bersekolah (kompas,5/9/2013). Hasil survey lain juga mengatakan satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan keperawanannya saat masih duduk di bangku SMP. Dan bahkan 21,2 persen diantaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukanaborsi.
Kasus-kasus yang terungkap layaknya fenomena gunung es. Hanya mencuat di permukaan saja. Kemungkinan yang terjadi malah lebih parah bahkan lebih banyak daripada yang terungkap. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat merilis 64 juta remaja Indonesia rentan memiliki perilaku seks bebas. Angka yang sangat fantastis dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia. Bagaimana tidak, remaja  sebagai generasi penerus bertingkah laku yang tidak senonoh dan tidak layak di masanya. Pertanyaannya adalah, bagaimana masa depannya nanti kalau prilakunya sekarang saja sudah seperti itu? Pantaskah menjadi generasi penerus bangsa yang akan menerima toggak estafet kepemimpinan di masa depan?

Kategori Sekolah

Pengelompokan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia berdasarkan UU No. 20/2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 dan 16 disebutkan bahwa terdapat beberapa kategori atau jenis sekolah di Indonesia. Jenis sekolah dapat dibedakan sebagai berikut:
1.  Sekolah Formal Standar atau Sekolah Potensial
Sekolah jenis pertama adalah kategori sekolah formal standar atau sekolah potensial (calon SSN), yaitu sekolah yang relatif masih banyak kekurangan/kelemahan untuk memenuhi kriteria sekolah yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUSPN Tahun 2003 pasal 35 maupun dalam PP Nomor 19 Tahun 2005. Ditegaskan dalam penjelasan PP Nomor 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 dan 3 bahwa kategori sekolah formal standar adalah sekolah yang belum memenuhi (masih jauh) dari SNP atau sekolah yang diproyeksikan memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam pembinaan sekolah.
2.  Sekolah Formal Mandiri atau Sekolah Standar Nasional (SSN)
Sekolah jenis kedua, adalah kategori sekolah formal mandiri atau disebut dengan sekolah standar nasional (SSN). Sekolah kategori ini adalah sekolah yang sudah atau hampir memenuhi SNP. Sekolah standar nasional di samping harus memenuhi standar nasional pendidikan seperti diamanatkan dalam PP 19 tahun 2005, juga harus memiliki standarisasi dari kedelapan aspek tersebut secara nasional. Dengan demikian apabila sudah ditetapkan sebagai SSN diharapkan keberadaan SSN di seluruh Indonesia memiliki karakteristik yang identik atau hampir sama.
3.  Sekolah Formal Mandiri dan atau memiliki keunggulan lokal
Sekolah jenis ketiga, adalah kategori sekolah formal mandiri dan atau memiliki keunggulan lokal. Ditegaskan dalam pasal 14 PP Nomor 19 Tahun 2005 bahwa sekolah kategori ini dapat dikategorikan dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, IPTEK, estetika atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009 disebutkan bahwa sesuai amanat UUSPN No. 20 tahun 2003 pada setiap provinsi dan kabupaten/kota secara bertahap dikembangkan sekurangkurangnya terdapat satu sekolah berbasis keunggulan lokal.
4.  Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Sekolah jenis keempat, adalah kategori sekolah bertaraf internasional (SBI). Dalam Buku Pedoman Sistem Penyelenggaraan SBI untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (2006) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen dijelaskan bahwa SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam Buku Penjaminan Mutu Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2007) bahwa SBI adalah sekolah yang memenuhi Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) ditambah dengan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT). Kurikulumnya mengacu pada SNP yang diperkaya, diperdalam, diperluas, dan dikembangkan sesuai dengan standar pendidikan negara-negara yang tergabung dalam Organization of Economic Cooperation Development (OECD) dan negara maju lainnya. Di samping itu, lulusannya minimal menguasai penggunaan satu bahasa asing secara aktif dan diterima di satuan pendidikan luar negeri yang terakreditasi atau diakui di negaranya.
5.  Sekolah Franchise Asing
Di samping ”sekolah nasional”, terdapat jenis sekolah lain yang dapat diselenggarakan di Indonesia, adalah sekolah franchise asing atau sekolah yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing, yaitu merupakan lembaga pendidikan dasar dan menengah asing yang terakreditasi di negaranya diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan di wilayah NKRI dengan menggunakan kurikulum asing, dengan catatan wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia (WNI) dan wajib bekerjasama dengan lembaga pendidikan di wilayah NKRI yaitu dengan mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan dari Indonesia.
6.  Sekolah Asing
Sekolah asing adalah yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah NKRI, yang peserta didiknya adalah warga Negara asing dan menggunakan sistem yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Kategori sekolah ini, Pemerintah Indonesia tidak membuat regulasi yang sifatnya pembinaan, namun hanya sekedar memberikan legitimasi (pengakuan) dalam rangka pemberian izin operasional

Jenis-Jenis Tunjangan Bagi Guru

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesian guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Pemenuhan hak guru untuk memperoleh penghasilan didasari atas pertimbangan prestasi dan pengakuan atas profesionalitasnya. Dengan demikian, penghasilan dimaksud merupakan hak yang diterima oleh guru dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesian yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan tonggak sejarah bagi peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia. Menyusul lahirnya UU ini, pemerintah telah mengatur beberapa sumber penghasilan guru selain gaji pokok, yaitu tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus.
1. Tunjangan Profesi
Guru profesional dituntut oleh undang-undang memiliki kualifikasi akademik tertentu dan empat kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional atau akademik. Sertifikasi guru merupakan proses untuk memberikan sertifikat pendidik kepada mereka. Sertifikat pendidik dimaksud merupakan pengakuan negara atas derajat keprofesionalan guru.
Seiring dengan proses sertifikasi inilah, pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menamanatkan bahwa “Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 72
yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat”.
Pemberian tunjangan profesi diharapkan akan mampu mendorong dan memotivasi guru untuk terus meningkatkan kompetensi dan kinerja profesionalnya dalam melaksanakan tugas di sekolah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, dan penilai peserta didiknya.
Besarnya tunjangan profesi ini setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Guru yang sudah bersertifikat akan menerima tunjangan profesinya jika guru yang bersangkutan mampu membuktikan kinerjanya yaitu dengan mengajar 24 jam tatap muka per minggu dan persyaratan lainnya.
Guru akan menerima tunjangan profesi sampai yang bersangkutan berumur 60 tahun. Usia ini adalah batas pensiun bagi PNS guru. Setelah berusia 60 tahun guru tetap berhak mengajar di manapun, baik sebagai guru tidak tetap maupun guru tetap yayasan untuk sekolah swasta, dan menyandang predikat guru bersertifikat, namun tidak berhak lagi atas tunjangan profesi. Meski guru memiliki lebih dari satu sertifikat profesi pendidik, mereka hanya berhak atas “satu” tunjangan profesi.
Tunjangan profesi diberikan kepada semua guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan syarat lainnya, dengan cara pembayaran tertentu. Hal ini bermakna, bahwa guru bukan PNS pun akan mendapat tunjangan yang setara dengan guru PNS dengan kualifikasi akademik, masa kerja, serta kompetensi yang setara atau ekuivalen. Bagi guru bukan PNS, tunjangan profesi akan dibayarkan setelah yang bersangkutan disesuaikan jenjang jabatan dan kepangkatannya melalui impassing.Tunjangan profesi tersebut dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3. Tunjangan Fungsional
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 17 ayat (1) mengamanatkan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan fungsional kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan bahwa subsidi tunjangan fungsional diberikan kepada guru yang bertugas di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya, tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional ini dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 17 ayat (3).
Besarnya tunjangan fungsional yang diberikan untuk guru PNS seharusnya sesuai dengan jenjang jabatan fungsional yang dimiliki. Namun saat ini baru diberikan tunjangan tenaga kependidikan berdasarkan pada golongan/ruang kepangkatan/jabatannya. Khusus mengenai besarnya subsidi tunjangan fungsional bagi guru bukan PNS, agaknya memerlukan aturan tersendiri, berikut persyaratannya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 73
4. Tunjangan Khusus
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor merupakan komitmen Pemerintah untuk terus mengupayakan peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, di samping peningkatan profesionalismenya. Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 18, disebutkan bahwa guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan ditugaskan di di daerah khusus berhak memperoleh tunjangan khusus yang diberikan setara dengan satu kali gaji pokok Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Mengingat tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru di Daerah Khusus, sasaran dari program ini adalah guru yang bertugas di daerah khusus. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dimaksudkan dengan Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
a. Daerah terpencil atau terbelakang adalah daerah dengan faktor geografis yang relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil; dan daerah dengan faktor geomorfologis lainnya yang sulit dijangkau oleh jaringan transportasi maupun media komunikasi, dan tidak memiliki sumberdaya alam.
b. Daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil adalah daerah yang mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta tidak dilibatkan dalam kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan yang mengakibatkan daerah belum berkembang.
c. Daerah perbatasan dengan negara lain adalahbagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat maupun di laut kawasan perbatasan berada di kecamatan; dan pulau kecil terluar dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional.
d. Daerah yang mengalami bencana alam yaitu daerah yang terletak di wilayah yang terkena bencana alam (gempa, longsor, gunung api, banjir, dsb) yang berdampak negatif terhadap layanan pendidikan dalam waktu tertentu.
e. Daerah yang mengalami bencana sosial dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi yang membahayakan guru dalam melaksanakan tugas dan layanan pendidikan dalam waktu tertentu.
f. Daerah yang berada dalam keadaan darurat lain adalah daerah dalam keadaan yang sukar/sulit yang tidak tersangka-sangka mengalami bahaya, kelaparan dan sebagainya yang memerlukan penanggulangan dengan segera.
Tunjangan khusus yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 74
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Penetapan Daerah Khusus ini rumit dan tentatif adanya. Sebagai “katup pengaman” sejak tahun 2007, pemerintah memberikan bantuan kesejateraan untuk guru yang bertugas di Daerah Khusus atau Daerah Terpencil di 199 kabupaten di Indonesia. Sampai tahun 2010 tunjangan tersebut mencapai Rp 1.350.000 per bulan.
Harapan yang ingin dicapai dari pemberian tunjangan khusus ini adalah selain meningkatkan kesejahteraan guru sebagai kompensasi daerah yang ditempati sangat sulit, juga memotivasi guru untuk tetap mengajar di sekolah tersebut. Pada sisi lain, pemberian tunjangan ini bisa sebagai insentif bagi guru baru untuk bersedia mengajar di Daerah Khusus ini. Belum terpenuhinya jumlah guru di daerah terpencil diharapkan juga semakin mudah dilakukan dengan insentif tunjangan khusus ini.
5. Maslahat Tambahan
Salah satu komponen penghasilan yang diberikan kepada guru dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah pemberian maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (Pasal 15 ayat 1). Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh guru dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat (2), dimana pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan bagi guru. Tujuan pemberian maslahat tambahan ini adalah untuk: (1) memberikan penghargaan terhadap prestasi, dedikasi, dan keteladanan guru dalam melaksanakan tugas; (2) memberikan penghargaan kepada guru sebelum purna tugas terhadap pengabdiannya dalam dunia pendidikan; dan (3) memberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan bermutu kepada putra/putri guru yang memiliki prestasi tinggi. Dengan demikian, pemberian maslahat tambahan akan bermanfaat untuk: (i) mengangkat citra, harkat, dan martabat profesi guru; (2) memberikan rasa hormat dan kebanggaan kepada penyandang profesi guru; (3) merangsang guru untuk tetap memiliki komitmen yang konsisten terhadap profesi guru hingga akhir masa bhakti; dan (4) meningkatnya motivasi guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.

Komponen Administrasi Guru

Masing-masing perangkat itu adalah:
1) Silabus
2) Kalender Pendidikan
3) ProgramTahunan
4) Program Semester
5) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
6) Rencana Pelaksanaan Harian
7) Buku Pelaksanaan Harian
8) Presensi Siswa
9) Catatan Hambatan Belajar Siswa
10) Daftar Buku Pegangan Guru dan Siswa
11) Analisis KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal
12) Kisi-kisi Soal
13) Soal-soal Ulangan
14) Buku Informasi Penilaian
15) Analisis Butir Soal
16) Analisis Hasil Ulangan
17) Program/Pelaksanaan Perbaikan
18) Program/Pelaksanaan Pengayaan
19) Daftar Pengembalian Hasil Ulangan
20) Buku Ulangan Bergilir
21) Daftar Nilai
22) Laporan Penilaian Akhlak Mulia dan Kepribadian Siswa
23) Buku Tugas Terstruktur
24) Buku Tugas Mandiri
25) SK Pembagian Tugas
26) Mengisi Buku Kemajuan Kelas dan
27) Jadwal Mengajar.

ADMINISTRASI GURU PROFESIONAL LENGKAP

KALO SUDAH MEMILIKI 14 KOMPONEN DIBAWAH INI BARU LENGKAP ..
1.    MENYUSUN SILABUS 
2.           MENYUSUN PROGRAM TAHUNAN
3.           MENYUSUN PROGRAM SEMESTER
4.           MENYUSUN RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN (RPP)
5.           MENENTUKAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM)
6.           BUKU BAHAN PENGAJARAN
7.           BUKU REFERENSI PENGAJARAN
8.           JURNAL PENGAJARAN
9.           KISI-KISI SOAL, DAN BANK/KUMPULAN SOAL-SOAL
10.    DAFTAR NILAI
11.    ANALISIS HASIL NILAI
12.    BUKU PROGRAM PERBAIKAN
13.    BUKU PROGRAM PENGAYAAN DAN TINDAK LANJUT
14.    BUKU CATATAN PERKEMBANGAN ANAK